Monday, August 29, 2022

Realitas di Usia 20-an

Dalam salah satu webinar yang aku ikuti (24/8), terdapat empat Narasumber. Dua di antaranya adalah dua sosok perempuan yang selama ini sering aku perhatikan dan pelajari perjalanan hidupnya. Mereka adalah Gita Savitri dan Nadhira Afifa, perempuan-perempuan keren yang menjadi panutan banyak kaum millenial.

Webinar ini mengusung tema membangkitkan semangat anak muda sekaligus menumbuhkan kreativitas yang mereka punya. Karena anak muda mempunyai andil besar untuk meneruskan bagaimana masa depan bangsa ini.

Sedangkan pada usia ini, tidak sedikit hal-hal yang mereka hadapi. Sebuah proses untuk memasuki usia dewasa dan seringkali dikatakan menjadi pintu masuknya ke dalam 'dunia nyata'. 

Yaitu sekitar umur 20-an yang rata-rata harus sudah siap untuk menjajaki dunia pekerjaan, memikul tanggung jawab, melihat persaingan, ingin menjadi nomor satu, dan masih banyak lagi. Sehingga memerlukan banyak bekal dan pemahaman yang cukup.

Dalam salah satu dialognya, sampai pada perbincangan privilege yang banyak disalah-pahami oleh orang-orang. 

Privilege atau hak istimewa ini sering dianggap menjadi suatu hal yang tidak memerlukan perjuangan bagi orang yang menerimanya. Contoh, anak yang terlahir kaya, secara logika tentu dia tidak akan bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Orang yang cerdas, pasti akan mulus jalan pendidikan dan karirnya. 

Sehingga hal demikian seolah menjadi ketidak-adilan bagi orang-orang yang tidak memilikinya. Dalam perbincangan itu, kak Nadhira yang berkesempatan menanggapi diskusinya mengatakan, mungkin memang benar jika selama ini ada orang-orang yang mengatakan dirinya memiliki privilege. 

Namun mereka salah kalau mengatakan itu menjadikannya hal wajar jika saat ini ia berada pada karir dan pendidikan yang memuaskan.

Privilege tidak serta merta bisa berlaku dan akan bertahan selamanya. Berpengaruh? tentu iya, berguna untuk menjembatani, namun tidak lantas menjadi penentu atas dirinya. Bahkan tidak akan menjamin bagaimana masa depan seorang tersebut. 

Maksudnya dalam konteks kak Nadhira adalah, kesuksesan yang ia miliki saat ini, perlahan terbentuk karena kerja kerasnya dahulu. Lingkungan keluarga yang menanamkan dirinya untuk mencintai belajar serta terus mencoba untuk mengasah kemampuan, mengantarkannya untuk senantiasa mau berlatih. 

Dan itu adalah pilihannya. Jadi meski sekeras apapun keluarganya mendukungnya, jika ia tidak bergerak untuk mewujudkan itu, maka tidak akan ada hasil yang saat ini.

Mungkin memang ini terdengar klise, tapi coba kita pahami lagi bersama; Jika ada di antara kita ada yang merasa tidak memiliki privilege untuk menunjang langkah kita ke depan, sehingga hanya fokus menyesali jalan hidup dan menyalahkan keadaan, sesekali kita perlu berpikir ulang dan ubah cara pandang yang demikian. 

Daripada hanya terus menyalahkan, kita perlu terus mencoba untuk mencari kebaikan apa pun yang bisa kita maksimalkan dalam diri kita. Kalau ternyata masih belum berhasil, yang jelas kita sudah menuntaskan satu kewajiban kita, yaitu berusaha --tentunya dengan doa juga ya, karena keduanya adalah satu paket. Dan besok, kita coba lagi.

Baca juga : "Emosi" dapat Dikelola, Bagaimana Bisa?

Diskusi itu berlanjut sampai pada perbincangan rasa iri saat melihat orang lain lebih unggul. Dunia yang semakin berkembang pesat, secara tidak sadar mendorong kita untuk terus saling berkejaran dengan orang lain, baik itu dalam lingkungan pekerjaan, sosial, jabatan, pendidikan, dan hal-hal lainnya.

Selanjutnya, kak Gita memberikan tanggapan atas obrolan tersebut; perasaan iri itu memang ada dan kita tidak bisa menghindarinya. Karena setiap orang mempunyai perasaan ingin lebih dari orang lain. Namun perlahan, setelah melewati banyak hal, pikiran itu berubah. 

Pada akhirnya ia mampu mengatakan pada dirinya sendiri "Jika mereka berhasil, itu layak buat mereka dan mereka berhak atas itu. Begitu pun aku, aku juga berhak atas keberhasilan dan prosesku sendiri. Dan itu bukan lagi suatu hal yang patut untuk dipermasalahkan".

Selain dari permasalahan yang dibahas di atas, tentunya masih banyak lagi hal-hal yang kita rasakan lainnya. Tidak sedikit di antaranya merupakan kebingungan-kebingungan terkait apa yang kita baru temukan dalam diri kita, seperti emosi, cara pandang, pemikiran, dan sebagainya. 

Tapi yang jelas, semua itu tidak akan terselesaikan secara bersamaan dan seketika. Melainkan butuh waktu dan pengalaman yang cukup. Keep Forward!

2 comments:

  1. Semangat terus berkarya kakak. Aku akan terus mendukungmu. So proud of u sistluv.

    ReplyDelete