Showing posts with label Pengalaman. Show all posts
Showing posts with label Pengalaman. Show all posts

Friday, December 16, 2022

Barangkali kita mempunyai pikiran yang sama


"Kehidupan yang dijalani setiap orang, tentunya berbeda antara satu dengan yang lainnya". Pernyataan itu sudah kita dengar sejak kecil hingga kini.

Dengan bertambahnya waktu yang kita lalui, umur yang kita lewati, pemahaman-pemahaman tentang hidup juga semakin beragam. Misal dalam hal melihat orang lain yang kemudian berkaca terhadap diri sendiri.

Ketika kita mengenal atau berinteraksi dengan jangkauan yang cukup luas, tentu kita akan melihat berbagai latar belakang sekaligus aktivitas apa yang sedang dijalani orang-orang dalam circle tersebut.

Tidak sedikit ada yang memiliki segudang prestasi, ada yang memutuskan untuk berkontribusi dalam masyarakat, ada yang sibuk dengan berbagai jadwal dari pagi hingga petang, dan masih banyak yang lain.

Setiap kali menyadari hal itu, spontanitas kita akan mempertanyakan kepada diri "bagaimana aku?"

Tapi tulisan ini bukan bertujuan untuk membandingkan diri atau berisi keluh yang dihasilkan ketika melihat orang lain, ya.

Justru setelah melewati beberapa proses, aku mulai tersadar; Ya seperti inilah hidup, ada banyak cerita dan keberagaman kondisi di dalamnya, termasuk manusia-manusianya dengan segala pencapaian yang mereka miliki, dan segala kekurangan yang mereka punya.

Kalaupun ada yang seolah terlihat tertinggal dibandingkan yang lain, bukan berarti hidupnya secara keseluruhan menjadi gagal. Karena ternyata ada orang-orang yang menjadi bagian dari kebaikan peran yang dia lakukan. 

Dengan tetap melihat ke dalam diri kemudian terus berusaha memperbaiki hal-hal yang ada pada kita, ternyata memang menjadi pilihan terbaik yang perlu kita ambil. Meskipun ada banyak orang yang menurut kita telah berhasil atau mencapai titik apa yang sebelumnya ada dalam pikiran kita.

Continue reading Barangkali kita mempunyai pikiran yang sama

Saturday, September 24, 2022

Langkah Awal Sebagai Seorang "Pemimpi"

Membicarakan soal "mimpi" pasti menjadi keseruan tersendiri. Seolah kita melihat diri kita di beberapa tahun kemudian. Bayangan tentang keberhasilan, prestasi, sukses, menjadi sebuah cerminan kita di masa depan.

Namun, kita sebagai manusia yang berhak untuk bermimpi seperti demikian, tentunya bukan berarti hanya bertugas untuk mengkhayal. Dengan kata lain benar-benar hanya berhenti pada angan-angan, sedangkan tidak ada usaha dan doa untuk mewujudkan itu.

Baca lainnya : Self-Growth; Jadikan Tantangan Menjadi Peluang untuk Tumbuh Lebih Baik

Setelah mengamati sekitar dan berusaha mencermati diri sendiri, terkadang yang menjadi kendala adalah bukan pada tidak mau berusaha, tapi bingung harus memulai dari mana, bahkan harus melakukan apa untuk menjadi langkah awalnya.

Dalam salah satu webinar yang kuikuti, aku berkesempatan untuk menanyakan hal itu. Kebetulan pematerinya adalah Kak Nadhira Afifa, salah satu perempuan yang aku idolakan. 

Menanggapi pertanyaan yang aku berikan, Kak Nadhira menyampaikan setidaknya ada dua poin besar yang bisa kita lakukan untuk memulainya sebagai langkah awal.

Pertama, membuat to do list. Kita bisa mulai dengan membuat gambaran dan memetakan skala prioritas. Maksudnya adalah untuk sampai pada mimpi itu, kita bisa lakukan sesuatu yang paling mudah kita jangkau. Dan di sinilah, perlunya kita mengetahui bagaimana kemampuan diri.

Pembahasan ini juga disebutkan dalam buku "Almost Adulting" yang ditulis oleh Kak Nadhira dengan tema Hierarchy of Goals. Bahwa untuk sampai pada goal besar, kita harus membuat turunan dari tujuan tersebut atau goals-goals kecil untuk mengantarkan kita pada tujuan utama kita. 

Seperti halnya ketika menaiki tangga, kita tidak bisa berada di puncak tangga tertinggi tanpa melewati tangga paling bawah, bukan?

Kedua, mencari informasi dari orang-orang yang sudah lebih dulu dalam bidang yang kita inginkan. Contoh, kamu ingin jadi penulis, tentu kamu bisa mencari tahu seputar kepenulisan dari orang-orang yang menekuni itu. Sehingga bisa tergambar step apa saja yang dibutuhkan dan perencanaan apa yang harus dibuat.

Baca lainnya : Menemukan Passion yang Kita Punya

Dan, berbicara perihal "mimpi", aku sepakat bahwa hal itu tidak akan pernah terlambat, termasuk tidak dibatasi dengan usia. Jika ada yang beranggapan malu untuk bermimpi dan memulai langkah awal terhadap mimpi terebut karena sudah tidak lagi di usia muda, menurutku itu bukan pilihan yang tepat.

Jadi, berapapun usiamu, se-bingung apapun kamu untuk memulai, setidak-mungkin apa hal itu di pikiranmu, mari kita coba dulu dengan langkah awal yang paling terjangkau untuk kita lakukan. Lagi-lagi, soal akan bagaimana nanti hasilnya, biarkan itu menjadi rahasia-Nya.


Continue reading Langkah Awal Sebagai Seorang "Pemimpi"

Thursday, September 8, 2022

The Power of Being Introvert

Pembahasan mengenai extrovert dan introvert menjadi diskusi menarik tersendiri. Dua istilah yang dipahami mencerminkan kondisi kepribadian yang saling bertabrakan satu sama lain. 

Pemahaman yang paling umum dari keduanya adalah bahwa extrovert mencerminkan manusia yang terbuka dengan orang lain, mudah bergaul, berani bicara, sedangkan introvert adalah sebaliknya. Sehingga terkadang karakter introvert ini dipahami sebagai suatu karakter yang sulit untuk maju, berkembang dan tampil ke depan, karena dianggap tidak akan berhasil dalam hal memiliki koneksi dengan orang lain.

Akhirnya ada sebagian orang yang merasa dirinya introvert, merasa tidak punya cukup kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya secara maksimal.

Padahal sebenarnya tidak demikian, karena itulah salah satu alasan kelas yang aku ikuti mendiskusikan hal tersebut. Bunda Nelly Mathias yang ketika itu sebagai pembicara menyampaikan bahwa kita perlu meluruskan miskonsepsi tersebut.

Exstrovert dan introvert merupakan dimensi tentang kebergantian karakter manusia, yang membedakan adalah cara mengambil energi yang dia butuhkan untuk memberi energi pada dirinya sendiri.

Baca juga : Self Growth - Jadikan Tantangan Menjadi Peluang untuk Tumbuh Lebih Baik

Seorang exstrovert akan me-recharge energi dengan lingkungan umum secara sosial dan menarik energi dari orang lain. Karenanya, dia akan lebih mudah bergaul dan aktif. Sedangkan introvert lebih suka/nyaman dalam lingkungannya sendiri, dan bisa seleluasa mungkin untuk berekspresi ketika berada di lingkungan yang menurutnya tepat dan sesuai dengan kenyamanannya.

Jadi, seorang introvert bisa saja berbicara di depan umum dengan sangat baik, bahkan melebihi mereka yang ekstrovert, namun energi yang dia butuhkan cukup banyak untuk itu dan perlu mengisi ulang dengan caranya sendiri.

Ketika mendapat penjelasan tersebut, aku jadi teringat statement Maudy Ayunda yang saat itu diundang di sebuah acara dan mengatakan bahwa dirinya introvert. Sehingga dia tidak punya cukup energi jika berhubungan dengan banyak orang dalam waktu bersamaan dengan intensitas yang berlebih.

Karena saat mendengar Kak Maudy mengatakan itu, aku seperti tidak percaya. Apakah benar seorang Maudy yang kita semua --sepertinya-- tahu prestasi dan kesibukan yang dia jalani, adalah seorang introvert yang aku mengiranya dengan pemahaman di awal tadi.

Dengan demikian, entah itu kita seorang extrovert atau introvert, kita sama-sama memiliki kesempatan untuk berusaha dan mengupayakan apa yang ingin kita raih. Dan tentunya dengan kita mengetahui masuk ke dalam kelompok yang mana, kita bisa tahu bagaimana untuk merespons kebutuhan diri ketika itu. 

Seperti --ketika seorang introvert, tahu kapan waktunya untuk sendiri terlebih dahulu atau kapan waktu yang tepat untuk ikut masuk ke dalam circle sosial yang cukup besar.


Continue reading The Power of Being Introvert

Sunday, September 4, 2022

Self Growth - Jadikan Tantangan Menjadi Peluang untuk Tumbuh Lebih Baik

Salah satu kelas yang pernah aku ikuti, mendiskusikan tema seputar "Self Growth". Materi disampaikan oleh Coach Lika Satvarini, Profesional Image and Communication. 

Dalam diskusi tersebut, Coach Lika menyampaikan bahwa proses tumbuh yang kita alami, hal yang pertama dilakukan adalah, kita menyadari bahwa kita perlu dan harus berkembang/berproses untuk lebih baik setiap harinya. Berproses dalam hal apa? yaitu menjadi versi terbaik atas diri kita sendiri.

Seperti, menentukan tujuan kita dan cara mewujudkannya, bentuk respons dalam menghadapi hal-hal apapun serta mencari jalan keluar dalam setiap masalah yang kita hadapi. Dan yang paling utama, semua hal itu berporos pada memberikan manfaat/berkontribusi untuk kebaikan-kebaikan di lingkungan kita.

Selain itu, setidaknya ada tiga tahapan yang perlu kita lakukan untuk mengoptimalkan self growth dalam diri kita:

  • Sadari apakah hari ini lebih baik dari hari kemarin, kita lakukan evaluasi dari setiap hal yang kita jalani di hari tersebut. 
  • Menarik pembelajaran dari setiap kondisi yang sudah kita lalui, supaya kita tahu bahwa ketika itu berupa kesalahan, kita tidak melakukan hal yang sama dan jika itu kebaikan, kita bisa terus meningkatkannya. Sama halnya jika kita dihadapkan dengan hal yang serupa, kita sudah tahu bagaimana meresponsnya.
  • Berproses step by step, kaitannya dengan hal ini, seringkali kita menginginkan sesuatu menjadi nyata dan terjadi dengan seketika. Namun realitasnya tidak bisa demikian, kita perlu lakukan satu-satu dan sifatnya bertahap pelan-pelan. 

Dalam proses tersebut, kita juga akan mengalami banyak hal, seperti ups and downs, rasa ingin menyerah, begitupun sebaliknya; menggebu penuh semangat, kadang juga apa yang sudah diupayakan tidak begitu terlihat hasilnya menurut kita. 

Baca juga : 'Menemukan' Passion yang Kita Punya

Sedangkan saat dihadapkan dengan masalah/kesulitan tertentu, seringkali terlintas di pikiran kita untuk menyerah dan putus asa. Kita sebagai manusia yang dibekali dengan berbagai bentuk emosi serta cara berpikir, mengarahkan kita dengan berbagai pilihan juga, antara berhenti atau lanjut, antara sungguh-sungguh atau seadanya, antara mengganti tujuan kita atau memperjuangkannya.

Tapi, dalam fase itulah sebenarnya kita bisa mengukur sekaligus menjadi peluang kita dalam self growth. Masalah-masalah yang kita hadapi bisa kita jadikan sebagai tantangan dan batu loncatan untuk menjadi lebih baik lagi. Berbekal pengalaman yang telah lalu, kita bisa selesaikan perlahan dengan lebih bijak.

Agar itu tidak hanya berhenti pada sebuah ungkapan motivasi, kita perlu menumbuhkan dorongan dan tekad yang kuat dalam diri kita. Karena aku yakin, hal itu sama sekali tidak semudah dengan apa yang diucapkan.

Satu lagi yang perlu diingat adalah, saat menjalani itu kita bisa mengambil jeda dan istirahat sebentar, atau bahkan itu perlu untuk kita lakukan. Supaya kita bisa memikirkannya dengan lebih matang dan tidak terburu-buru dalam bertindak.  

Continue reading Self Growth - Jadikan Tantangan Menjadi Peluang untuk Tumbuh Lebih Baik

Wednesday, August 31, 2022

'Menemukan' Passion yang Kita Punya


Berbicara soal passion, semakin ke sini sepertinya semakin ramai diperbincangkan. Orang-orang saling bertanya "sebenarnya apa ya passion-ku?", "kalau kamu apa passion-nya?", "udah tahu passion kamu belum?", "aku ngerasa ini bukan passion-ku deh". Begitu pun dengan adanya media sosial yang semakin gencar membicarakannya, disertai banyaknya platform atau kelas khusus untuk mendiskusikan itu.

Passion secara umum bisa kita pahami dengan kecenderungan terhadap suatu hal yang menjadi minat kita sekaligus menjadi dorongan kemampuan, sehingga dapat membantu kita untuk mengetahui bidang apa yang bisa kita jalani dengan penuh antusias dan kita mau terus berkembang dalam hal itu.

Beberapa waktu lalu --sampai sekarang ya sebenarnya, aku juga terusik dengan mencari tahu apa passion-ku. Dan itu mengantarkanku pada salah satu acara dengan narasumber Muady Ayunda. Anak-anak millenial tentu enggak asing lagi kan dengan nama tersebut? bintang muda yang sering menggegerkan Indonesia karena prestasinya.

Dalam acara tersebut, Kak Maudy membahas cukup luas tentang passion ini. Salah satu poinnya adalah passion tidak mesti sesuatu yang bisa dicari yang kemudian akan ajek ketika sudah ditemukan, tapi sifatnya akan terus berkembang dan bisa jadi juga berubah.

Karena itu, kita enggak bisa hanya fokus pada pencarian yang tak berujung, sehingga ketika merasa tidak menemukannya, kita melabeli itu sebagai kegagalan. Contohnya begini:

Sepertinya di momen-momen tertentu, rata-rata kita pernah merasakan "aku kayaknya enggak bisa apa-apa deh, aku enggak ada bakat apa pun, selama ini nyari apa keahlianku, nyari passion-ku juga masih belum ketemu-ketemu". Yang kemudian akhirnya menyerah dan selanjutnya tidak melakukan apa pun, menjadi stres, frustasi dan merasa gagal karena belum ketemu sama passion-nya.

Lebih lanjut Kak Maudy mengatakan; Jadi barangkali untuk pencarian passion ini tidak akan pernah berhenti. Maksudnya kita bisa terus mencari untuk lebih tahu apa yang bisa kita lakukan dengan apa yang saat ini bisa kita maksimalkan. Dan itu merupakan sebuah proses, bukan akhir.

Baca juga : People Pleaser, Itukah Kamu?

Kalau waktu SMA kamu suka melukis dan punya keinginan untuk menjadi pelukis profesional, kemudian masuk kuliah karena ternyata lingkungan kamu suka membangun bisnis, akhirnya kamu lebih tertarik untuk menekuni itu. Dan setelah lulus kuliah tidak menutup kemungkinan ada hal lain yang kamu juga ingin berkecimpung di dalamnya. Di kemudian hari, bisa saja kamu masih menanyakan apa passion kamu atau malah merasa tidak bisa apa-apa.

Jadi passion bisa terus berkembang dan pencarian kita untuk itu bisa akan terus berlanjut seterusnya. Atau apa yang kamu cari, sebenarnya sudah lama ada dalam diri kamu, tapi kamu belum menyadarinya.

Dan untuk sekarang, apabila ada di antara kita ada yang dalam kebingungan itu, mari kita terus berjalan meskipun cukup berat (karena tentunya pasti ada fase di mana kita belum bisa menentukan dalam hal apa kecenderungan diri kita sekaligus mengenali diri lebih jauh lagi), sembari mengoptimalkan apa yang sampai saat ini bisa kita optimalkan.

Perihal akan ketemu atau tidak, dan kapan akan ketemunya, mungkin lebih tepatnya adalah kita wujudkan saja apa yang bisa kita mulai dan apa yang bisa kita lakukan saat ini. Misal kamu benar-benar bingung tentang kemampuan diri kamu, tapi kamu punya sedikit keinginan buat jadi penulis, maka mulai tulis saja dulu apa yang ada di pikiran kamu. 

Dengan mencoba banyak hal baru, perlahan, kita juga akan banyak belajar dari prosesnya.


Continue reading 'Menemukan' Passion yang Kita Punya

Tuesday, August 30, 2022

"Emosi" dapat Dikelola, Bagaimana Bisa?

Hal apa yang terlintas di pikiran kalian pertama kali ketika mendengar kata "emosi"? -- "menangis? marah-marah? tersinggung? kesal?"

Iya, semua itu adalah bentuk-bentuk dari emosi. Namun, tidak jarang emosi ini dikonotasikan ke dalam kondisi yang negatif/berlebihan. Misalnya ada orang yang mengekspresikan emosinya ditanggapi dengan "biasa aja lah, ngga usah baperan".

Pada bulan Maret lalu, aku berkesempatan mengikuti kelas yang diselenggarakan oleh Qubisa dengan tema Mengelola Emosi. Materi disampaikan oleh Nelly Mathias, seorang profesional dalam pengembangan talenta, atau biasa disapa dengan panggilan akrab "Bunda".

Berbicara mengenai emosi, pernah tidak kalian merasa "emosi" datang dengan tiba-tiba, seolah tanpa alasan dan seolah juga tidak menemukan jawaban untuk mengatasinya, seakan tidak teridentifikasi? -- (Kalau aku kok sering, ya. Jadi PR besar juga sih ini buatku. Yuk sama-sama belajar).

Jika hal itu sering terjadi dan terulang, serta tidak dicari penyelesaiannya, akan ada luapan emosi yang bisa jadi tidak tepat waktunya dan tidak tepat sasarannya. Yang menjadi bahaya adalah ketika emosi ini berakhir pada sebuah keputusan yang salah. Seperti menyakiti diri sendiri, orang terdekat, bahkan orang lain yang tidak dikenal.

Setiap emosi yang tidak dikelola dengan baik akan menumpuk dalam diri kita, dan ketika mendapat stimulan tertentu (bisa dari kejadian, ingatan atau hal-hal tertentu) akan keluar secara tidak terkendali dan bisa saja ada 'korban' tertentu juga yang dikenainya.

Dalam kelas tersebut disampaikan, bahwa pada dasarnya emosi adalah sesuatu yang bisa kita pilih untuk diekspresikan atau tidak. Pun untuk bentuk ekspresi/responsnya kita juga bisa memilihnya. Emosi bukan hanya berkaitan dengan perasaan, tapi ada otak juga yang ikut berperan tentang bagaimana untuk merespons sebuah emosi tersebut.

Baca juga : 'Menemukan' Passion yang Kita Punya

Lantas langkah apa saja yang bisa kita lakukan untuk mengelola dan mengontrol emosi untuk lebih baik?

  • Kenali dan rasakan emosinya, maksudnya adalah kita bisa coba untuk mendefinisikan apa yang kita rasakan. Karena emosi adalah bagian atau satu kesatuan dalam diri kita. Misal, kita tiba-tiba merasa ingin marah, maka kita telisik dulu bagaimana alurnya rasa marah ini bisa muncul. Dan ini tentu tidak bisa dilakukan dengan kondisi yang tidak tenang.
  • Berhenti sesaat selama enam detik, kita beri jeda untuk tarik napas atau berhenti sebentar dari aktivitas apapun ketika itu. Enam detik ini berkaitan dengan kinerja otak kita.
  • Let your brain works, kita berikan waktu agar otak kita memproses data dari apa yang sedang kita alami. Pada tahapan inilah proses 'enam detik' tadi sedang berlangsung.
  • Decide your response, kita pilih serta kita putuskan bagaimana respons yang akan kita ambil atas emosi yang kita rasakan tersebut.
Jadi perihal emosi ini bukan berarti kita tidak boleh marah, sedih, kecewa, bahagia. Tapi kita usahakan untuk menyadari atas berbagai bentuk emosinya. Sehingga bisa kita luapkan juga pada waktu yang tepat.

Dalam memilih respons atas sebuah emosi juga bisa dilakukan dalam bentuk yang beragam. Ada yang dengan membaca buku, pergi ke suatu tempat yang membuat dia nyaman, mendengarkan musik, menulis, melukis, mengaji (kalau mengaji ini menurutku sebuah kebutuhan dan kewajiban, ya. Alhasil akan tetap jadi prioritas utama).

Karena tidak sedikit yang mengalami saat di momen-momen penting, namun ada satu/lain hal yang membuat kita jadi enggak mood, emosi tidak stabil. Entah karena ada sesuatu yang tidak enak terjadi pada sebelumnya, atau ada masalah yang belum diselesaikan. Sehingga pada akhirnya memperkeruh suasana hati kita dan kita tidak bisa hadir secara utuh dalam momen-momen penting tersebut.

Dan terkait melatih diri untuk dapat memiliki emosi yang stabil, mood yang baik, usahakan setiap bangun tidur kita buka mata dengan penuh rasa syukur dan bahagia. Perlahan itu akan mendistraksi pikiran-pikiran negatif yang seringkali mengantarkan emosi kita suka muncul sewaktu-waktu.

Let's do it!





Continue reading "Emosi" dapat Dikelola, Bagaimana Bisa?

Monday, August 29, 2022

Realitas di Usia 20-an

Dalam salah satu webinar yang aku ikuti (24/8), terdapat empat Narasumber. Dua di antaranya adalah dua sosok perempuan yang selama ini sering aku perhatikan dan pelajari perjalanan hidupnya. Mereka adalah Gita Savitri dan Nadhira Afifa, perempuan-perempuan keren yang menjadi panutan banyak kaum millenial.

Webinar ini mengusung tema membangkitkan semangat anak muda sekaligus menumbuhkan kreativitas yang mereka punya. Karena anak muda mempunyai andil besar untuk meneruskan bagaimana masa depan bangsa ini.

Sedangkan pada usia ini, tidak sedikit hal-hal yang mereka hadapi. Sebuah proses untuk memasuki usia dewasa dan seringkali dikatakan menjadi pintu masuknya ke dalam 'dunia nyata'. 

Yaitu sekitar umur 20-an yang rata-rata harus sudah siap untuk menjajaki dunia pekerjaan, memikul tanggung jawab, melihat persaingan, ingin menjadi nomor satu, dan masih banyak lagi. Sehingga memerlukan banyak bekal dan pemahaman yang cukup.

Dalam salah satu dialognya, sampai pada perbincangan privilege yang banyak disalah-pahami oleh orang-orang. 

Privilege atau hak istimewa ini sering dianggap menjadi suatu hal yang tidak memerlukan perjuangan bagi orang yang menerimanya. Contoh, anak yang terlahir kaya, secara logika tentu dia tidak akan bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Orang yang cerdas, pasti akan mulus jalan pendidikan dan karirnya. 

Sehingga hal demikian seolah menjadi ketidak-adilan bagi orang-orang yang tidak memilikinya. Dalam perbincangan itu, kak Nadhira yang berkesempatan menanggapi diskusinya mengatakan, mungkin memang benar jika selama ini ada orang-orang yang mengatakan dirinya memiliki privilege. 

Namun mereka salah kalau mengatakan itu menjadikannya hal wajar jika saat ini ia berada pada karir dan pendidikan yang memuaskan.

Privilege tidak serta merta bisa berlaku dan akan bertahan selamanya. Berpengaruh? tentu iya, berguna untuk menjembatani, namun tidak lantas menjadi penentu atas dirinya. Bahkan tidak akan menjamin bagaimana masa depan seorang tersebut. 

Maksudnya dalam konteks kak Nadhira adalah, kesuksesan yang ia miliki saat ini, perlahan terbentuk karena kerja kerasnya dahulu. Lingkungan keluarga yang menanamkan dirinya untuk mencintai belajar serta terus mencoba untuk mengasah kemampuan, mengantarkannya untuk senantiasa mau berlatih. 

Dan itu adalah pilihannya. Jadi meski sekeras apapun keluarganya mendukungnya, jika ia tidak bergerak untuk mewujudkan itu, maka tidak akan ada hasil yang saat ini.

Mungkin memang ini terdengar klise, tapi coba kita pahami lagi bersama; Jika ada di antara kita ada yang merasa tidak memiliki privilege untuk menunjang langkah kita ke depan, sehingga hanya fokus menyesali jalan hidup dan menyalahkan keadaan, sesekali kita perlu berpikir ulang dan ubah cara pandang yang demikian. 

Daripada hanya terus menyalahkan, kita perlu terus mencoba untuk mencari kebaikan apa pun yang bisa kita maksimalkan dalam diri kita. Kalau ternyata masih belum berhasil, yang jelas kita sudah menuntaskan satu kewajiban kita, yaitu berusaha --tentunya dengan doa juga ya, karena keduanya adalah satu paket. Dan besok, kita coba lagi.

Baca juga : "Emosi" dapat Dikelola, Bagaimana Bisa?

Diskusi itu berlanjut sampai pada perbincangan rasa iri saat melihat orang lain lebih unggul. Dunia yang semakin berkembang pesat, secara tidak sadar mendorong kita untuk terus saling berkejaran dengan orang lain, baik itu dalam lingkungan pekerjaan, sosial, jabatan, pendidikan, dan hal-hal lainnya.

Selanjutnya, kak Gita memberikan tanggapan atas obrolan tersebut; perasaan iri itu memang ada dan kita tidak bisa menghindarinya. Karena setiap orang mempunyai perasaan ingin lebih dari orang lain. Namun perlahan, setelah melewati banyak hal, pikiran itu berubah. 

Pada akhirnya ia mampu mengatakan pada dirinya sendiri "Jika mereka berhasil, itu layak buat mereka dan mereka berhak atas itu. Begitu pun aku, aku juga berhak atas keberhasilan dan prosesku sendiri. Dan itu bukan lagi suatu hal yang patut untuk dipermasalahkan".

Selain dari permasalahan yang dibahas di atas, tentunya masih banyak lagi hal-hal yang kita rasakan lainnya. Tidak sedikit di antaranya merupakan kebingungan-kebingungan terkait apa yang kita baru temukan dalam diri kita, seperti emosi, cara pandang, pemikiran, dan sebagainya. 

Tapi yang jelas, semua itu tidak akan terselesaikan secara bersamaan dan seketika. Melainkan butuh waktu dan pengalaman yang cukup. Keep Forward!

Continue reading Realitas di Usia 20-an

Sunday, August 28, 2022

People Pleaser, Itukah Kamu?

Siang tadi (27/8), aku mengikuti webinar yang diadakan oleh Bincang Jiwa dengan tema seputar "people pleaser". Narasumber yang didatangkan adalah seorang psikolog, kak Syahrani.

Materi yang disampaikan cukup banyak dengan cakupan pembahasan yang relate dengan apa yang sering kita temui dan kita rasakan. 

People pleaser sendiri diartikan sebagai orang-orang yang memprioritaskan orang lain dibanding dirinya sendiri, bahkan ketika itu merugikan dirinya sendiri juga tidak menjadi masalah.

Bersikap ingin menyenangkan orang lain dengan cara selalu memenuhi apa yang orang lain minta, ternyata tidak selalu perlu untuk dilakukan. Mungkin memang dari luar akan terlihat seperti hubungan bantu-membantu. Tapi setelah itu berlangsung lama akan ada banyak hal yang menjadi akibatnya. Let's say; akibat yang cenderung kurang baik, entah itu bagi yang membantu atau pun yang meminta bantuan.

Misalkan, sebgaian besar dari kita tentu pernah merasakan ketika ada orang lain yang meminta bantuan kepada kita, kita sungkan atau tidak enak-an untuk menolaknya, dan tentunya dengan alasan yang beragam pula. 

Sekilas memang itu perilaku yang baik. Tapi pernah tidak, saat kita mau membantu mereka, ada hal-hal lain yang harus kita korbankan. Yang lebih parahnya adalah apabila mereka ini sebetulnya tidak dalam kondisi yang perlu-perlu amat untuk menerima bantuan. Dan akhirnya, prioritas/kebutuhan kita pribadi menjadi tidak terpenuhi karena mendahulukan orang lain yang di luar tanggung jawab kita.

Baca juga : Realitas di Usia 20-an

Kak Rani juga sempat menjelaskan bahwa ada beberapa motif mengapa terdapat orang-orang yang 'terjebak' untuk menjadi people pleaser. Di antaranya adalah:

  • Dia perlu validasi tentang keberadaannya, sehingga dia perlu untuk tampil di depan orang banyak. 
  • Adanya trauma masa kecil, seperti tumbuh dalam keluarga yang tidak membiasakan komunikasi, memberikan apresiasi, yang pada akhirnya membuat dia haus akan semua itu.
  • Kurang terbentuknya self-esteem dalam dirinya. Dia merasa tidak berharga sehingga mempersilakan orang lain memegang kendali atas dirinya.

Kebiasaan tersebut perlu untuk diperbaiki. Menjadi people pleaser tidak seharusnya kita lakukan hanya karena tidak enak-an dengan orang lain. Salah satunya ialah dengan setting boundaries. Kita perlu membangun batasan antara diri kita dengan yang lain. Sehingga perlahan mereka pun akan tahu batasan-batasan apa yang kita punya. 

Itu bukan berarti memutus hubungan sosial dengan yang lain, ya. Tapi seperti menciptakan aturan atas diri kita tentang apa dan siapa saja yang berhak masuk ke dalam 'wilayah' kita.

Analoginya adalah jika sebuah rumah diberi pagar untuk melindungi sekaligus membatasi antara rumah kita dengan kondisi di luar, mengapa tidak dengan diri kita sendiri?

Continue reading People Pleaser, Itukah Kamu?