Wednesday, August 31, 2022

'Menemukan' Passion yang Kita Punya


Berbicara soal passion, semakin ke sini sepertinya semakin ramai diperbincangkan. Orang-orang saling bertanya "sebenarnya apa ya passion-ku?", "kalau kamu apa passion-nya?", "udah tahu passion kamu belum?", "aku ngerasa ini bukan passion-ku deh". Begitu pun dengan adanya media sosial yang semakin gencar membicarakannya, disertai banyaknya platform atau kelas khusus untuk mendiskusikan itu.

Passion secara umum bisa kita pahami dengan kecenderungan terhadap suatu hal yang menjadi minat kita sekaligus menjadi dorongan kemampuan, sehingga dapat membantu kita untuk mengetahui bidang apa yang bisa kita jalani dengan penuh antusias dan kita mau terus berkembang dalam hal itu.

Beberapa waktu lalu --sampai sekarang ya sebenarnya, aku juga terusik dengan mencari tahu apa passion-ku. Dan itu mengantarkanku pada salah satu acara dengan narasumber Muady Ayunda. Anak-anak millenial tentu enggak asing lagi kan dengan nama tersebut? bintang muda yang sering menggegerkan Indonesia karena prestasinya.

Dalam acara tersebut, Kak Maudy membahas cukup luas tentang passion ini. Salah satu poinnya adalah passion tidak mesti sesuatu yang bisa dicari yang kemudian akan ajek ketika sudah ditemukan, tapi sifatnya akan terus berkembang dan bisa jadi juga berubah.

Karena itu, kita enggak bisa hanya fokus pada pencarian yang tak berujung, sehingga ketika merasa tidak menemukannya, kita melabeli itu sebagai kegagalan. Contohnya begini:

Sepertinya di momen-momen tertentu, rata-rata kita pernah merasakan "aku kayaknya enggak bisa apa-apa deh, aku enggak ada bakat apa pun, selama ini nyari apa keahlianku, nyari passion-ku juga masih belum ketemu-ketemu". Yang kemudian akhirnya menyerah dan selanjutnya tidak melakukan apa pun, menjadi stres, frustasi dan merasa gagal karena belum ketemu sama passion-nya.

Lebih lanjut Kak Maudy mengatakan; Jadi barangkali untuk pencarian passion ini tidak akan pernah berhenti. Maksudnya kita bisa terus mencari untuk lebih tahu apa yang bisa kita lakukan dengan apa yang saat ini bisa kita maksimalkan. Dan itu merupakan sebuah proses, bukan akhir.

Baca juga : People Pleaser, Itukah Kamu?

Kalau waktu SMA kamu suka melukis dan punya keinginan untuk menjadi pelukis profesional, kemudian masuk kuliah karena ternyata lingkungan kamu suka membangun bisnis, akhirnya kamu lebih tertarik untuk menekuni itu. Dan setelah lulus kuliah tidak menutup kemungkinan ada hal lain yang kamu juga ingin berkecimpung di dalamnya. Di kemudian hari, bisa saja kamu masih menanyakan apa passion kamu atau malah merasa tidak bisa apa-apa.

Jadi passion bisa terus berkembang dan pencarian kita untuk itu bisa akan terus berlanjut seterusnya. Atau apa yang kamu cari, sebenarnya sudah lama ada dalam diri kamu, tapi kamu belum menyadarinya.

Dan untuk sekarang, apabila ada di antara kita ada yang dalam kebingungan itu, mari kita terus berjalan meskipun cukup berat (karena tentunya pasti ada fase di mana kita belum bisa menentukan dalam hal apa kecenderungan diri kita sekaligus mengenali diri lebih jauh lagi), sembari mengoptimalkan apa yang sampai saat ini bisa kita optimalkan.

Perihal akan ketemu atau tidak, dan kapan akan ketemunya, mungkin lebih tepatnya adalah kita wujudkan saja apa yang bisa kita mulai dan apa yang bisa kita lakukan saat ini. Misal kamu benar-benar bingung tentang kemampuan diri kamu, tapi kamu punya sedikit keinginan buat jadi penulis, maka mulai tulis saja dulu apa yang ada di pikiran kamu. 

Dengan mencoba banyak hal baru, perlahan, kita juga akan banyak belajar dari prosesnya.


Continue reading 'Menemukan' Passion yang Kita Punya

Tuesday, August 30, 2022

"Emosi" dapat Dikelola, Bagaimana Bisa?

Hal apa yang terlintas di pikiran kalian pertama kali ketika mendengar kata "emosi"? -- "menangis? marah-marah? tersinggung? kesal?"

Iya, semua itu adalah bentuk-bentuk dari emosi. Namun, tidak jarang emosi ini dikonotasikan ke dalam kondisi yang negatif/berlebihan. Misalnya ada orang yang mengekspresikan emosinya ditanggapi dengan "biasa aja lah, ngga usah baperan".

Pada bulan Maret lalu, aku berkesempatan mengikuti kelas yang diselenggarakan oleh Qubisa dengan tema Mengelola Emosi. Materi disampaikan oleh Nelly Mathias, seorang profesional dalam pengembangan talenta, atau biasa disapa dengan panggilan akrab "Bunda".

Berbicara mengenai emosi, pernah tidak kalian merasa "emosi" datang dengan tiba-tiba, seolah tanpa alasan dan seolah juga tidak menemukan jawaban untuk mengatasinya, seakan tidak teridentifikasi? -- (Kalau aku kok sering, ya. Jadi PR besar juga sih ini buatku. Yuk sama-sama belajar).

Jika hal itu sering terjadi dan terulang, serta tidak dicari penyelesaiannya, akan ada luapan emosi yang bisa jadi tidak tepat waktunya dan tidak tepat sasarannya. Yang menjadi bahaya adalah ketika emosi ini berakhir pada sebuah keputusan yang salah. Seperti menyakiti diri sendiri, orang terdekat, bahkan orang lain yang tidak dikenal.

Setiap emosi yang tidak dikelola dengan baik akan menumpuk dalam diri kita, dan ketika mendapat stimulan tertentu (bisa dari kejadian, ingatan atau hal-hal tertentu) akan keluar secara tidak terkendali dan bisa saja ada 'korban' tertentu juga yang dikenainya.

Dalam kelas tersebut disampaikan, bahwa pada dasarnya emosi adalah sesuatu yang bisa kita pilih untuk diekspresikan atau tidak. Pun untuk bentuk ekspresi/responsnya kita juga bisa memilihnya. Emosi bukan hanya berkaitan dengan perasaan, tapi ada otak juga yang ikut berperan tentang bagaimana untuk merespons sebuah emosi tersebut.

Baca juga : 'Menemukan' Passion yang Kita Punya

Lantas langkah apa saja yang bisa kita lakukan untuk mengelola dan mengontrol emosi untuk lebih baik?

  • Kenali dan rasakan emosinya, maksudnya adalah kita bisa coba untuk mendefinisikan apa yang kita rasakan. Karena emosi adalah bagian atau satu kesatuan dalam diri kita. Misal, kita tiba-tiba merasa ingin marah, maka kita telisik dulu bagaimana alurnya rasa marah ini bisa muncul. Dan ini tentu tidak bisa dilakukan dengan kondisi yang tidak tenang.
  • Berhenti sesaat selama enam detik, kita beri jeda untuk tarik napas atau berhenti sebentar dari aktivitas apapun ketika itu. Enam detik ini berkaitan dengan kinerja otak kita.
  • Let your brain works, kita berikan waktu agar otak kita memproses data dari apa yang sedang kita alami. Pada tahapan inilah proses 'enam detik' tadi sedang berlangsung.
  • Decide your response, kita pilih serta kita putuskan bagaimana respons yang akan kita ambil atas emosi yang kita rasakan tersebut.
Jadi perihal emosi ini bukan berarti kita tidak boleh marah, sedih, kecewa, bahagia. Tapi kita usahakan untuk menyadari atas berbagai bentuk emosinya. Sehingga bisa kita luapkan juga pada waktu yang tepat.

Dalam memilih respons atas sebuah emosi juga bisa dilakukan dalam bentuk yang beragam. Ada yang dengan membaca buku, pergi ke suatu tempat yang membuat dia nyaman, mendengarkan musik, menulis, melukis, mengaji (kalau mengaji ini menurutku sebuah kebutuhan dan kewajiban, ya. Alhasil akan tetap jadi prioritas utama).

Karena tidak sedikit yang mengalami saat di momen-momen penting, namun ada satu/lain hal yang membuat kita jadi enggak mood, emosi tidak stabil. Entah karena ada sesuatu yang tidak enak terjadi pada sebelumnya, atau ada masalah yang belum diselesaikan. Sehingga pada akhirnya memperkeruh suasana hati kita dan kita tidak bisa hadir secara utuh dalam momen-momen penting tersebut.

Dan terkait melatih diri untuk dapat memiliki emosi yang stabil, mood yang baik, usahakan setiap bangun tidur kita buka mata dengan penuh rasa syukur dan bahagia. Perlahan itu akan mendistraksi pikiran-pikiran negatif yang seringkali mengantarkan emosi kita suka muncul sewaktu-waktu.

Let's do it!





Continue reading "Emosi" dapat Dikelola, Bagaimana Bisa?

Monday, August 29, 2022

Realitas di Usia 20-an

Dalam salah satu webinar yang aku ikuti (24/8), terdapat empat Narasumber. Dua di antaranya adalah dua sosok perempuan yang selama ini sering aku perhatikan dan pelajari perjalanan hidupnya. Mereka adalah Gita Savitri dan Nadhira Afifa, perempuan-perempuan keren yang menjadi panutan banyak kaum millenial.

Webinar ini mengusung tema membangkitkan semangat anak muda sekaligus menumbuhkan kreativitas yang mereka punya. Karena anak muda mempunyai andil besar untuk meneruskan bagaimana masa depan bangsa ini.

Sedangkan pada usia ini, tidak sedikit hal-hal yang mereka hadapi. Sebuah proses untuk memasuki usia dewasa dan seringkali dikatakan menjadi pintu masuknya ke dalam 'dunia nyata'. 

Yaitu sekitar umur 20-an yang rata-rata harus sudah siap untuk menjajaki dunia pekerjaan, memikul tanggung jawab, melihat persaingan, ingin menjadi nomor satu, dan masih banyak lagi. Sehingga memerlukan banyak bekal dan pemahaman yang cukup.

Dalam salah satu dialognya, sampai pada perbincangan privilege yang banyak disalah-pahami oleh orang-orang. 

Privilege atau hak istimewa ini sering dianggap menjadi suatu hal yang tidak memerlukan perjuangan bagi orang yang menerimanya. Contoh, anak yang terlahir kaya, secara logika tentu dia tidak akan bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Orang yang cerdas, pasti akan mulus jalan pendidikan dan karirnya. 

Sehingga hal demikian seolah menjadi ketidak-adilan bagi orang-orang yang tidak memilikinya. Dalam perbincangan itu, kak Nadhira yang berkesempatan menanggapi diskusinya mengatakan, mungkin memang benar jika selama ini ada orang-orang yang mengatakan dirinya memiliki privilege. 

Namun mereka salah kalau mengatakan itu menjadikannya hal wajar jika saat ini ia berada pada karir dan pendidikan yang memuaskan.

Privilege tidak serta merta bisa berlaku dan akan bertahan selamanya. Berpengaruh? tentu iya, berguna untuk menjembatani, namun tidak lantas menjadi penentu atas dirinya. Bahkan tidak akan menjamin bagaimana masa depan seorang tersebut. 

Maksudnya dalam konteks kak Nadhira adalah, kesuksesan yang ia miliki saat ini, perlahan terbentuk karena kerja kerasnya dahulu. Lingkungan keluarga yang menanamkan dirinya untuk mencintai belajar serta terus mencoba untuk mengasah kemampuan, mengantarkannya untuk senantiasa mau berlatih. 

Dan itu adalah pilihannya. Jadi meski sekeras apapun keluarganya mendukungnya, jika ia tidak bergerak untuk mewujudkan itu, maka tidak akan ada hasil yang saat ini.

Mungkin memang ini terdengar klise, tapi coba kita pahami lagi bersama; Jika ada di antara kita ada yang merasa tidak memiliki privilege untuk menunjang langkah kita ke depan, sehingga hanya fokus menyesali jalan hidup dan menyalahkan keadaan, sesekali kita perlu berpikir ulang dan ubah cara pandang yang demikian. 

Daripada hanya terus menyalahkan, kita perlu terus mencoba untuk mencari kebaikan apa pun yang bisa kita maksimalkan dalam diri kita. Kalau ternyata masih belum berhasil, yang jelas kita sudah menuntaskan satu kewajiban kita, yaitu berusaha --tentunya dengan doa juga ya, karena keduanya adalah satu paket. Dan besok, kita coba lagi.

Baca juga : "Emosi" dapat Dikelola, Bagaimana Bisa?

Diskusi itu berlanjut sampai pada perbincangan rasa iri saat melihat orang lain lebih unggul. Dunia yang semakin berkembang pesat, secara tidak sadar mendorong kita untuk terus saling berkejaran dengan orang lain, baik itu dalam lingkungan pekerjaan, sosial, jabatan, pendidikan, dan hal-hal lainnya.

Selanjutnya, kak Gita memberikan tanggapan atas obrolan tersebut; perasaan iri itu memang ada dan kita tidak bisa menghindarinya. Karena setiap orang mempunyai perasaan ingin lebih dari orang lain. Namun perlahan, setelah melewati banyak hal, pikiran itu berubah. 

Pada akhirnya ia mampu mengatakan pada dirinya sendiri "Jika mereka berhasil, itu layak buat mereka dan mereka berhak atas itu. Begitu pun aku, aku juga berhak atas keberhasilan dan prosesku sendiri. Dan itu bukan lagi suatu hal yang patut untuk dipermasalahkan".

Selain dari permasalahan yang dibahas di atas, tentunya masih banyak lagi hal-hal yang kita rasakan lainnya. Tidak sedikit di antaranya merupakan kebingungan-kebingungan terkait apa yang kita baru temukan dalam diri kita, seperti emosi, cara pandang, pemikiran, dan sebagainya. 

Tapi yang jelas, semua itu tidak akan terselesaikan secara bersamaan dan seketika. Melainkan butuh waktu dan pengalaman yang cukup. Keep Forward!

Continue reading Realitas di Usia 20-an

Sunday, August 28, 2022

People Pleaser, Itukah Kamu?

Siang tadi (27/8), aku mengikuti webinar yang diadakan oleh Bincang Jiwa dengan tema seputar "people pleaser". Narasumber yang didatangkan adalah seorang psikolog, kak Syahrani.

Materi yang disampaikan cukup banyak dengan cakupan pembahasan yang relate dengan apa yang sering kita temui dan kita rasakan. 

People pleaser sendiri diartikan sebagai orang-orang yang memprioritaskan orang lain dibanding dirinya sendiri, bahkan ketika itu merugikan dirinya sendiri juga tidak menjadi masalah.

Bersikap ingin menyenangkan orang lain dengan cara selalu memenuhi apa yang orang lain minta, ternyata tidak selalu perlu untuk dilakukan. Mungkin memang dari luar akan terlihat seperti hubungan bantu-membantu. Tapi setelah itu berlangsung lama akan ada banyak hal yang menjadi akibatnya. Let's say; akibat yang cenderung kurang baik, entah itu bagi yang membantu atau pun yang meminta bantuan.

Misalkan, sebgaian besar dari kita tentu pernah merasakan ketika ada orang lain yang meminta bantuan kepada kita, kita sungkan atau tidak enak-an untuk menolaknya, dan tentunya dengan alasan yang beragam pula. 

Sekilas memang itu perilaku yang baik. Tapi pernah tidak, saat kita mau membantu mereka, ada hal-hal lain yang harus kita korbankan. Yang lebih parahnya adalah apabila mereka ini sebetulnya tidak dalam kondisi yang perlu-perlu amat untuk menerima bantuan. Dan akhirnya, prioritas/kebutuhan kita pribadi menjadi tidak terpenuhi karena mendahulukan orang lain yang di luar tanggung jawab kita.

Baca juga : Realitas di Usia 20-an

Kak Rani juga sempat menjelaskan bahwa ada beberapa motif mengapa terdapat orang-orang yang 'terjebak' untuk menjadi people pleaser. Di antaranya adalah:

  • Dia perlu validasi tentang keberadaannya, sehingga dia perlu untuk tampil di depan orang banyak. 
  • Adanya trauma masa kecil, seperti tumbuh dalam keluarga yang tidak membiasakan komunikasi, memberikan apresiasi, yang pada akhirnya membuat dia haus akan semua itu.
  • Kurang terbentuknya self-esteem dalam dirinya. Dia merasa tidak berharga sehingga mempersilakan orang lain memegang kendali atas dirinya.

Kebiasaan tersebut perlu untuk diperbaiki. Menjadi people pleaser tidak seharusnya kita lakukan hanya karena tidak enak-an dengan orang lain. Salah satunya ialah dengan setting boundaries. Kita perlu membangun batasan antara diri kita dengan yang lain. Sehingga perlahan mereka pun akan tahu batasan-batasan apa yang kita punya. 

Itu bukan berarti memutus hubungan sosial dengan yang lain, ya. Tapi seperti menciptakan aturan atas diri kita tentang apa dan siapa saja yang berhak masuk ke dalam 'wilayah' kita.

Analoginya adalah jika sebuah rumah diberi pagar untuk melindungi sekaligus membatasi antara rumah kita dengan kondisi di luar, mengapa tidak dengan diri kita sendiri?

Continue reading People Pleaser, Itukah Kamu?

Review Buku "Kimbab Family" - by Kimbab Family

Berada di tengah-tengah keluarga yang harmonis merupakan impian setiap manusia. Seperti orang tua yang pengertian, saudara yang penyayang, serta komunikasi satu sama lain yang terjalin sangat baik. Tapi keluarga ideal yang seperti ini, tentu terjadi atas usaha dan proses yang cukup panjang, bukan?

Kimbab Family adalah nama bagi sebuah keluarga multikultural yang berasal dari Indonesia dan Korea. Sang istri (akrab dengan panggilan Mama Gina) asal dari Indonesia, sedangkan suami (akrab dengan panggilan Appa Jay) asal dari Korea. 

Adapun buku ini merangkum perjalanan kisah mereka, dimulai dari bagaimana awal mereka bertemu sampai memiliki tiga buah hati. 

Lantas, apa keistimewaan buku Kimbab Family, sehingga aku sampaikan juga dalam blog ini? dan apa kaitannya dengan membangun self-awarness yang menjadi tujuan adanya blog ini?

Buku ini memang fokus kepada relationship; bagaimana cara penulis berhasil meyakinkan diri sendiri serta keluarga masing-masing untuk menikah dengan seseorang dari negara yang berbeda. Di mana kultur, bahasa, budaya tentu jauh berbeda. 

Baca lainnya : Review buku "Perempuan yang Mendahului Zaman" Karya Khairul Jasmi

Namun yang ingin aku garis-bawahi adalah terkait sikap yang dimiliki oleh penulis, khususnya Mama Gina, yang notabene-nya asli dari Indonesia. Mama Gina merupakan sosok perempuan yang sangat inspiratif. Tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan bertanggung jawab. Bahkan sebelum menikah, ia merupakan sekretaris dari Bapak Dahlan Iskan di BUMN.

Hal itu bisa dilihat dari bagaimana cara Mama Gina mendidik putra-putrinya (ini bisa kalian lihat juga melalui channel Youtube-nya : "Kimbab Family"). Yup, mungkin itu bisa masuk pada diskusi terkait parenting. Namun aku tidak terlalu jauh untuk membahas tentang parentingnya, ya.

Link Shopee buku Kimbab Family : https://shope.ee/5pXE9KRI5y

Memiliki tiga anak dan jauh dari keluarga (karena Kimbab Family menetap di Korea), sebagai seorang ibu tidak menjadikan Mama Gina kehilangan dirinya. 

Memang sempat mengalami tekanan yang cukup berat, karena lagi-lagi budaya di Korea dan Indonesia berbeda. Seperti di Korea semua hal harus dikerjakan sendiri serta tidak ada peguyuban yang biasanya kita temui di Indonesia.

Masa-masa awal sulit tersebut, telah berhasil dilewati oleh Mama Gina (hal. 58). Karakternya sedari dulu yang tetap tenang dalam menghadapi suatu masalah, mengantarkannya berhasil mendidik Suji, Yunji, Jio (nama dari tiga putra-putrinya) menjadi anak yang saling memiliki dan menyayangi. Tentu ini tidak lepas juga dari peran Appa Jay.

Hal yang paling terlihat adalah komunikasi yang mereka bangun satu sama lain. Cara penyampaian yang mereka ucapkan kepada anak-anak, cara untuk menanamkan sikap tanggung jawab pada anak-anak, serta tidak meluapkan emosi pada anak-anak.

 Baca juga : Review Buku "Limitless" Karya Nadhira Afifa

Sehingga pada akhirnya, anak-anak dapat tumbuh dengan baik dan merasa fulfilled tanpa harus ikut merasakan atau menjadi korban dari emosional yang pernah dialami oleh orang tuanya.

Dan di sini lah, pesan yang aku tangkap dari buku ini, yaitu perlunya membangun dan memiliki karakter yang kuat. Sehingga jika kapan saja dihadapkan dengan persoalan yang tidak mudah, kita tidak kehilangan kontrol diri, serta tidak menjadikan orang lain menanggung beban atas apa yang kita rasakan.




Continue reading Review Buku "Kimbab Family" - by Kimbab Family

Saturday, August 27, 2022

Review Buku "Kamu Gak Sendiri" - by Syahid Muhammad

Mengetahui akan kekurangan atau kelemahan yang kita punya, tak jarang membuat kita merasa berbeda dengan yang lain. Atau barangkali takut apabila kita tidak diterima secara tulus oleh lingkungan di mana kita berada.

Berbekal dengan pengalaman yang tidak mudah, Syahid Muhammad menguraikan itu melalui buku "Kamu Gak Sendiri". Buku ini dicetak pada tahun 2019 setebal 339 halaman, dan diterbitkan oleh Gradien Mediatama.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa perjalanan untuk memahami kemudian menerima atas segala hal-hal yang berbeda pada diri kita bukanlah sesuatu yang pantas dianggap remeh. Belum lagi ketika dihadapkan dengan respons orang lain, termasuk orang-orang terdekat kita. Tidak semua dari mereka dapat mengerti apa yang sebenarnya kita alami.

Baca lainnya : Review buku "Duduk Dulu" Karya Syahid Muhammad

Dan tidak berhenti sampai situ, buku ini sekaligus mengajak supaya kita melihat dari sudut pandang lain terkait hal-hal yang kita anggap sebagai kekurangan tersebut. Yakni mengubahnya sebagai sarana untuk memanfaatkannya pada kebaikan tertentu, termasuk berdampak positif bagi yang lain.

Salah satu kasusnya ialah "serangan panik" (hal. 19). Penulis menceritakan pengalaman pertamanya saat merasakan serangan panik. Kondisi di mana kehilangan kontrol diri, segala ketakutan dan kecemasan seperti datang secara bersamaan dengan skala yang sangat besar, disertai dengan napas yang pendek dan tak beraturan. 

Menjadi seseorang yang memiliki 'keistimewaan' seperti itu, penulis berulang kali mengalami trauma dan tekanan dari berbagai sisi. Namun, hingga pada waktunya, ia mendapatkan nasihat yang membuatnya berubah pikiran:

"Terima saja, jika kau tolak, hal besar yang seharusnya sampai padamu akan meleset. Dan kau akan semakin menyia-nyiakan hidupmu dengan terus melakukan penolakan."

Dimulai saat itu, ia merubah cara pandangnya. Serangan panik yang sebelumnya merupakan hal yang sangat ia takuti, telah berubah menjadi salah satu hal yang sangat ia syukuri.

Selain menceritakan dari sudut pandang melihat ke dalam diri sendiri, buku ini juga mengingatkan dari sisi ketika kita melihat orang lain. Bagaimana jadinya apabila ucapan/tindakan kita menjadi ancaman bagi orang lain. 

Misalkan ketika kita memberikan komentar sembarangan atas apa yang ada pada diri orang lain, bisa saja beberapa hari kemudian kita telah lupa, namun tidak untuk orang tersebut. Ucapan kita bisa menjadi pisau yang tak berhenti untuk memberikan luka baginya.

Baca juga : Review Buku "Insecurity Is My Middle Name" Karya Alvi Syahrin

Dan, aku percaya, bahwa semua orang sama mempunyai titik kelemahan dan kekurangan masing-masing. Yang membedakan adalah bagaimana kita melihatnya. Apakah itu hanya sebatas hal yang patut untuk selalu dirayakan kesedihannya, atau kita jadikan sebagai alat untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Link Shopee buku Kamu Gak Sendiri : https://shope.ee/89v8vT4rCy

Continue reading Review Buku "Kamu Gak Sendiri" - by Syahid Muhammad

Friday, August 26, 2022

Review Buku "Berjalan Jauh", Karya Fauzan Mukrim

Akan ada banyak hal saat kita melakukan perjalanan ke suatu tempat. Kita akan banyak menemukan hal-hal baru yang sedikit/banyak akan memengaruhi cara pandang kita terhadap sesuatu. Namun dalam menangkap pesan-pesan tersebut, kita tidak selalu bisa melakukannya. Bahkan terkadang dari hal-hal yang telah kita temui sehari-hari, kita masih luput untuk menangkap pesan apa yang dimaksud.


Buku dengan judul "Berjalan Jauh" ini mengantarkan kita untuk sedikit lebih peka terhadap apa yang ada di sekitar kita. Sebuah buku yang ditulis oleh Fauzan Mukrim, seorang jurnalis yang pernah bekerja di stasiun tv swasta. Dicetak pada tahun 2018 dan diterbitkan melalui penerbit Katadepan.

Tampilan buku ini merupakan pesan-pesan kehidupan yang diberikan oleh penulis kepada anaknya. Diambil dari pengalaman sehari-hari yang dilalui oleh penulis. Karena itu, saat membacanya pun dapat terbawa suasana seolah sedang mendengarkan kisah serta nasihat dari seorang ayah. 


Pada bagian "Hikayat Kaktus dan Pohon Jati" (hal. 17) terdapat pesan yang menurutku sangat dalam maknanya:

"Pohon jati juga tanaman yang adaptif. Namun, agar bertahan di musim kering, pohon jati harus menggugurkan sebagian bahkan hampir seluruh daunnya. Kita kaktus, Nak. Itu artinya kita akan bertahan tanpa harus mengabaikan atau menganggap yang lain tidak penting".

Kondisi yang digambarkan tersebut merupakan pengingat agar kita tidak terjebak dalam sikap yang provokatif, mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan kepentingan diri sendiri. Betapa banyak kasus yang terjadi, di mana saat berada dalam situasi yang sulit, bergegas untuk mengamankan diri sendiri dengan bertindak kejam terhadap yang lain.

Link Shopee buku Berjalan Jauh : https://shope.ee/1L4onBbLBU


Kemudian juga terdapat pesan yang tidak kalah menarik pada bagian judul "Balapan Sepeda" (hal. 207). Penulis menjelaskan perihal sebuah kemenangan yang seringkali membuat kita lalai dan berbangga berlebihan. Dalam ceritanya, penulis memberikan contoh pembalap asal Slovenia, Luka Pibernik. Ketika Pibernik berhasil melewati garis finis, ia beraksi melepas tangan dengan mengangkat keduanya sebagai bentuk perayaan kemenangan. Penonton pun memberikan sambutan gemuruh tepuk tangan kepadanya.

Namun ternyata, garis yang baru saja dilewatinya (yang disangka garis finis) masih memperlukan satu lap atau sekitar enam kilometer lagi. Posisi yang sebelumnya berada di baris paling depan, telah disalip oleh ratusan pembalap lain. Kemenangan dan kebanggaan yang sebelumnya sudah sangat dekat ia rasakan, justru beralih menjadi rasa malu dan penyesalan. Sehingga ia berakhir menempati posisi ke-148.


"Begitulah, Nak. Sekiranya pun kau menganggap dirimu sudah memenangi sebuah perlombaan, jangan terlalu cepat merayakan. Biasakan tengok kanan kiri dulu. Karena kehidupan kadang punya cerita bercandanya sendiri. Dan itu tidak selalu lucu buat kita". Pesan penulis untuk menutup kisah tersebut.

Pada salah satu babnya, penulis mengatakan, bahwa pada akhirnya berjalan jauh bukan selalu soal seberapa jauh kita telah pergi, namun seberapa dalam kita bisa menemukan diri di mana pun kita berada. 

Continue reading Review Buku "Berjalan Jauh", Karya Fauzan Mukrim

Wednesday, August 24, 2022

Review Buku "Insecurity Is My Middle Name" - Karya Alvi Syahrin

Insecure bukan suatu hal baru di telinga kita, yaitu sebuah perasaan tidak percaya diri, minder, atau merasa takut atas keadaan yang kita tidak nyaman. Apalagi bisa dikatakan kita semua pasti pernah mengalaminya, entah itu dari kalangan muda atau pun tua. Karena insecure merupakan respons manusiawi saat menghadapi peristiwa-peristiwa tertentu. 

Namun yang jadi permasalahannya adalah ketika insecure terlampau menguasai diri kita, sehingga mengganggu keseimbangan kita dalam berpikir dan bersikap. Bahkan sampai melupakan kebaikan-kebaikan lain yang telah kita terima dan rasakan. 

"Insecurity is My Middle Name" menjadi sebuah karya yang menurutku tepat sekali atas keberadaannya. Buku ini menjadi salah satu buku favorit yang ditulis Alvi Syahrin. Diterbitkan oleh Alvi Ardhi Publishing dengan jumlah halaman 264. Bahkan sampai sekarang -saat artikel ini ditulis- buku ini sudah melalui proses Cetakan Ketujuh.

Baca juga : Review buku "I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki 1" Karya Baek Se Hee

Tentu bukan alasan ketika buku ini menempati tempat tersendiri di hati para pembaca. Rasa inseucre yang seolah menjadi jebakan yang dapat menghantui siapa saja, dijelaskan dengan apik dalam buku ini. Uraiannya juga tidak terbatas pada bagaimana rasa insecure itu ada pada diri seseorang, namun juga mengajak untuk menghadapi dan mengubah rasa insecure menjadi batu loncatan untuk menjadi lebih baik.

Cakupan isi dalam buku ini seputar alasan apa saja yang umum terjadi pada seseorang sehingga rasa insecure itu muncul. Seperti good-looking yang selalu menjadi tolak ukur penilaian pertama atas seseorang, kebingungan dalam menentukan skill, iri terhadap achievement yang didapatkan orang lain, dan masih banyak lagi.

Seperti halnya sebuah nasihat, terkadang ucapan motivasi tidak selalu tepat bagi orang yang menerimanya. Bisa jadi karena sudah merasa tahu apa yang seharusnya dilakukan, atau mungkin sudah terlalu banyak menelan berbagai ungkapan motivasi namun tidak memberikan perubahan yang signifikan.

Link Shopee buku Insecurity is My Middle Name : https://shope.ee/1fhfBKqBaS

Nah, dalam buku ini, nasihat-nasihat tersebut dikemas dalam bentuk ungkapan seorang teman yang menginginkan kebaikan untuk temannya yang sedang terjatuh, tidak menggurui namun dibuat seakan sangat dekat dengan kita. 

Seperti pada bagian "Insecurity 29: Iri dengan pencapaian teman-teman" (hal. 179). Penulis sembari menuliskan pengalamannya saat berada di titik itu. Di mana kegagalan beruntut menerpanya sedangkan teman-teman yang lain sedang berlari untuk sampai pada garis finish di depan. Namun pada akhirnya, ia berhasil melewati itu dan sampai pada proses yang sekarang, yaitu menuliskan buku-buku yang menjadi 'teman' bagi para pembaca. 

Di samping itu, penulis juga memberikan reminder dari sisi agama. Bahwa apa yang kita kejar mati-matian di dunia ini, jika tidak bertujuan untuk memperoleh kebaikan di akhirat, maka tidak ada maknanya.

Baca juga : Review Buku "Kamu Gak Sendiri" Karya Syahid Muhammad

Contoh lain adalah ketika membicarakan soal penampilan atau good-looking (hal. 13). Definisi rupawan/cantik/tampan (kesempurnaan fisik) yang sering menjadi penilaian serta dianggap privilege bagi seseorang, mengantarkan banyak di antara kita yang berlomba-lomba untuk menyempurnakan fisik, dengan anggapan karena tidak mempunyai nilai/value pada hal tersebut.

Melalui buku ini, kita diajak untuk tidak hanya fokus pada kesempurnaan fisik sehingga mengabaikan yang lain, seperti kualitas diri. Kita bisa terus berlatih mengasah kemampuan, belajar memperbanyak soft skill, hingga pada memperbaiki attitude yang selama ini masih kurang.

Dan pada bagian pamungkas, penulis mengatakan "if you feel insecure, Allah can make you feel secure, but every good thing takes time"

Semoga bermanfaat, semangat! 

Continue reading Review Buku "Insecurity Is My Middle Name" - Karya Alvi Syahrin

Tuesday, August 23, 2022

Review Buku : A Cup of Tea, Karya Gita Savitri Devi

Awal mula tertarik baca buku ini adalah karena sudah tahu lebih dulu dengan kak Gita (penulis buku) melalui channel youtube-nya. Ketika tahu ternyata kak Gita sempat merampungkan tulisannya dalam bentuk buku, alhasil langsung aku eksekusi.

A Cup of Tea adalah buku kedua dari Gita Savitri Devi atau lebih dikenal dengan panggilan Gitasav, diterbitkan oleh Gagasmedia pada tahun 2020. Buku yang berjumlah 163 halaman ini cukup banyak menambah insight buatku. Ada hal-hal yang pas aku baca, membuatku tersadar kembali. Salah satunya ialah pada uraian tentang "Let there be spaces" (hal. 123).

Baca juga : Review buku "I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki 1" karya Baek Se Hee

Di bagian ini menjelaskan bahwa; ada perlunya kita menciptakan jarak antara diri kita dengan orang lain. Jarak yang dimaksud adalah memberikan space supaya kita tidak menggantungkan apapun terhadap orang lain, entah itu kepada teman, pasangan, keluarga, dan baik itu tentang kebahagiaan, kekecewaan, marah, dll. Jadi space di sini bukan berarti untuk memperburuk hubungan sosial kita dengan yang lain.

Kenapa itu perlu, karena tidak jarang ketika kita bergantung pada orang lain, dan saat hal itu tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kita akan kecewa dan akan menyalahkan keadaan, diri sendiri, pun juga orang lain tersebut. Dan untuk sembuh dari situasi seperti itu, bukan perkara yang mudah.

Issue yang diangkat ke dalam buku ini merupakan hal-hal yang sering kita jumpai dalam realitas sehari-hari. Namun yang menjadi daya tarik ketika membaca buku ini adalah sudut pandang yang digunakan oleh penulis. 

Kak Gita sendiri sudah cukup lama tinggal di Jerman, tentu budaya, cara melihat/penilaian terhadap sesuatu ada yang berbeda dengan kita (khususnya aku pribadi) yang notabene-nya selama ini hanya melihat kultur yang terbatas hanya dari sekitar kita saja (dan ini aku sadari juga karena aku masih belum banyak baca hehe. Karena itu, bisa jadi first impression yang aku rasakan berbeda dengan teman-teman yang sudah lebih dulu mendapatkan data tentang ini).

Link Shopee buku A Cup of Tea : https://shope.ee/20KVZafviV

Contohnya adalah pada bagian/judul "Menikah" (hal. 57). Penulis menyampaikan bahwa keputusan menikah itu bukan menjadi sesuatu hal yang "harus" atau menjadi life goal. Tapi itu pilihan sesuai dengan kondisi dan pertimbangan masing-masing individu.

Pernyataan yang seperti ini, barangkali berbeda dengan "kebiasaan" turun temurun yang ada di lingkungan kita, dimana menikah menjadi salah satu tujuan hidup yang mau tidak mau harus dilalui tanpa berpikir panjang dan mempertimbangkan berbagai aspek dalam kesiapannya (sekali lagi, tentu ini tidak terjadi di semua tempat). 

Baca juga : Review Buku "Berjalan Jauh" Karya Fauzan Mukrim

Di samping pembahasannya yang terasa dekat dengan kita sehari-hari, penulis juga menyampaikannya dengan bahasa yang terkesan akrab, seperti halnya seorang teman yang sedang menceritakan pengalaman serta pandangannya mengenai hal-hal tersebut. Pada bagian tertentu, juga disertai foto/dokumentasi untuk dapat membuat kita semakin betah membacanya.

Pada akhirnya, A Cup of Tea benar-benar bisa menjadi teman kita untuk dapat turut serta membuka wawasan dan pandangan kita terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.

Continue reading Review Buku : A Cup of Tea, Karya Gita Savitri Devi

Review Buku : Limitless - Nadhira Afifa

Membicarakan soal potensi, pasti kita semua ingin bisa berhasil untuk mengeksplorasi seluruh potensi yang ada pada diri kita, bukan? Yang kemudian keberhasilan itu mengantarkan kita untuk terus berlanjut pada proses-proses serta kesempatan di depan sana. Melalui buku "Limitless" ini, penulis mengajak pembaca untuk semangat berproses dalam hal tersebut.

"Limitless" sendiri adalah sebuah buku yang ditulis oleh Nadhira Afifa. Diterbitkan oleh Mediakita pada tahun 2021 dengan jumlah 232 halaman.

Baca juga : Review "Almost Adulting; Self-Helf Approach to Deal with Quarter Life Crisis"

Sesuai dengan judul bukunya, kak Nadhira menuliskan pengalaman hidupnya yang berfokus pada impian/harapan yang tak mengenal batas, asal diusahakan dengan kerja keras dan kesungguhan yang maksimal.

Perjalanannya di sini dimulai ketika kak Nadhira akan menyelesaikan studinya dari FKUI sampai akhirnya menjadi alumni Magister di Harvard University. Dan ternyata ada proses yang luar biasa di balik itu semua. Salah satunya adalah ketika ia dinyatakan tidak lulus di modul terakhir FKUI sebelum dapat diwisuda bersama teman-teman yang lain. Sehingga ia harus menunda wisuda yang seharusnya dijadwalkan bersama teman-teman angkatannya.

Pada momen ini, terasa sekali antara marah, kecewa, malu, sedih, karena track record akademik yang sebetulnya sangat baik tetapi harus tertunda di penghujung studinya, sekaligus harus menyaksikan teman-teman yang lain untuk selesai lebih dulu.

Tapi, dentuman ini menjadi titik balik dari seorang Nadhira Afifa. Meskipun sempat mengalami down yang cukup berat, ia memutuskan untuk memanfaatkan waktu tersebut dengan mencari kegiatan dan pengalaman di luar. Sehingga kesempatan baik menghampirinya, yaitu diterima pada program International Medical Student Elective di Tokyo. 

Hal menarik lainnya adalah saat penulis menceritakan pengalamannya ke Tanzania untuk menangani nutrisi pada anak-anak kurang mampu di sana. Tentu ini bukan sekadar kegiatan yang biasa saja, dapat mengunjungi salah satu negara di Afrika sekaligus berkontribusi untuk mereka merupakan pengalaman yang dapat menghasilkan pelajaran-pelajaran berharga.

Baca juga : Review Buku "A Cup of Tea" Karya Gita Savitri

Dari setiap kisah/bagian yang kubaca dari buku ini, selalu ada pesan dan kesan yang sampai kepadaku. Terutama adalah tentang usaha, kerja keras serta kesungguhan untuk memberikan yang terbaik pada setiap proses tumbuh yang kita jalani. Tapi dengan tidak lupa, bahwa ketika suatu saat ada momen yang cukup berat untuk kita lewati, harus berani untuk mengambil sikap dan memutuskan antara terus meratapi atau bertekad untuk menghadapinya dengan pikiran yang positif.

Continue reading Review Buku : Limitless - Nadhira Afifa